Asal usul kampung pelukis di Bandung

user
Muhammad Hasits 04 Desember 2015, 14:51 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Sebuah kampung di Kabupaten Bandung mayoritas warganya pelukis. Kampung Jelekong namanya. Di sana, balita sudah berinteraksi dengan lukisan. Tidak heran jika kemudian banyak generasi pelukis.

Kampung Jelekong berada di Jalan Giriharja, nama jalan diambil dari kelompok kesenian wayang golek yang dipimpin keluarga Asep Sunandar Sunarya. Jaraknya sekitar 15 kilometer dari Kota Bandung. Pintu masuk ke kampung ini adalah sebuah gapura dengan tulisan Selamat Datang di Kampung Seni dan Budaya Jelekong.

Di sepanjang Jalan Giriharja mudah ditemui sanggar atau studio seni lukis yang memajang lukisan. Aktivitas melukis, menjemur kanvas, membuat bingkai lukisan menjadi pemandangan sehari-hari.

Dari data Kelurahan Jelekong, 50 persen warganya bekerja sebagai pelukis, sisanya PNS, buruh, pedagang, petani dan lain-lain. Pelukis Jelekong tersebar di RW 1 sampai RW 5 dan RW 9. Jumlahnya sekitar 800 orang. Diperkirakan dalam sebulan mereka bisa menghasilkan lebih dari 2.500 lukisan.

Salah satu pelukis senior Jelekong, Asep Subarnas, 51 tahun, menuturkan tradisi melukis di kampungnya dimulai dari pamannya, Odin Rohbidin yang akrab disapa Abah Odin. Odin meninggal dalam usia 74 tahun pada 2013 lalu.

Subarnas menuturkan, Abah Odin mulai menyebarkan ilmu lukisannya setelah ia pulang dari perantauan pada 1977. Awalnya ia membuka studio lukis yang mengerjakan pesanan lukisan dari sejumlah kolektor. Lama-kelamaan ia kewalahan menerima pesanan. Ia pun merekrut pemuda desa sebagai karyawannya.

Berikutnya Abah Odin membuka kursus pendidikan melukis bagi warga sekitar di mana Subarnas menjadi salah satu muridnya. Begitu lulus SD saya langsung belajar melukis dari Abah Odin, katanya saat berbincang dengan Merdeka Bandung.

Bapak empat anak ini ingat, sebagai modal awal belajar melukis ia harus menjual kambingnya Rp 40.000. Hasil penjualan kambing ia pakai untuk membeli kuas, kanvas, cat, dan jasa pengajaran. Selama setahun ia kursus. Abah Odin mengajarkan teknik melukis dari dasar, dimulai dari membuat sketsa sebelum menggoreskan warna.

Setelah menguasai teknik dasar melukis, lanjut Subarnas, barulah Abah Odin mengajarkan cara melukis gaya naturalis, aliran lukis yang ditekuninya. Lukisan terkenal Abah Odin adalah lukisan kuda yang dilukis persis dengan aslinya. Lukisan-lukisan Abah Odin cenderung naturalis, kata pelukis yang memberi titel lukisannya dengan nama A Subarnas.

Ia menambahkan, dirinya murid angkatan kelima Abah Odin. Dalam satu angkatan kelas diikuti lima sampai enam murid. Selesai kursus, para murid harus mengembangkan sendiri-sendiri ilmu lukisnya dengan cara praktek langsung. Saat praktek itulah murid-murid Abah Odin mendalami aliran lain ada pada seni rupa seperti realisme, ekspresionisme dan abstrak.

Selanjutnya murid-murid Abah Odin merekrut anak buah sendiri dan otomatis menurunkan ilmu lukisanya. Sistem rekruitmen dilakukan secara informal, sama dengan yang diterapkan Abah Odin. Sasarannya remaja atau pemuda desa yang butuh pekerjaan. Banyak tetangga sengaja menitipkan anak-anak mereka untuk belajar melukis.

Tetangga di sini ingin anaknya punya keterampilan lain selain bertani. Kan mayoritas di sini petani, katanya.

Subarnas mengaku bisa hidup dari lukisan. Pria yang menggemari pelukis Hendra Gunawan ini kini punya rumah sendiri, mengelola Sanggar Seni Lukis Anisa, punya kontrakan, dan bisa menyekolahkan anak-anaknya.

Dalam sehari, ia membuat dua lembar lukisan atau sekitar 60 sampai 80 lembar lukisan perbulan dibantu beberapa karyawannya. Harga lukisan dijual antara Rp 50 ribu sampai Rp 3 juta, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan atau detail.

Kredit

Bagikan