Besok ba'da maghrib masyarakat Indonesia bisa menikmati gerhana bulan langka
Bandung.merdeka.com - Pada hari Rabu, 31 Januari, masyarakat dapat menyaksikan secara langsung tiga fenomena alam langka yang terjadi saat gerhana bulan total. Tiga fenomena itu yakni supermoon, bluemoon dan bloodmoon. Fenomena alam tersebut disebut langka sebab terakhir terjadi pada 31 Maret 1866.
Kepala Observatorium Bosscha ITB Dr. Premana W. Premadi mengatakan, peristiwa gerhana bulan total pada tanggal 31 Januari 2018 disebut-sebut sebagai kejadian langka karena merupakan gerhana bulan total yang terjadi saat supermoon sekaligus bluemoon. Secara rata-rata, peristiwa ini hanya terjadi 0,042 persen dari keseluruhan purnama atau hanya sekali dalam 2380 kali purnama atau satu kali dalam 192 tahun.
Premana menjelaskan, proses gerhana bulan total tanggal 31 Januari besok, mula-mula bulan mulai memasuki bayangan umbra bumi pukul 18.48 WIB. Bayangan hitam mulai muncul di permukaan bulan sehingga bulan purnama akan tampak berubah bentuk menjadi bulan setengah, bulan sabit, dan pada puncaknya bulan akan terlihat kemerahan pada pukul 19.52 WIB hingga 21.08 WIB.
"Warna merah ini muncul karena cahaya matahari dihamburkan oleh debu dan molekul di atmosfer bumi. Warna biru akan terhamburkan lebih kuat, sedangkan warna merah dapat lolos melewati atmosfer bumi dan sampai ke permukaan bulan. Bulan pun tampak berwarna kemerahan. Sebagian orang zaman dahulu kemudian menyebut gerhana bulan total sebagai bloodmoon atau bulan merah-darah," ujar Premana dalam rilis yang diterima Merdeka Bandung, Selasa (30/1).
Menurut dia, sebenarnya warna bulan saat puncak gerhana tidak selalu sama. Bulan dapat berwarna merah-orange, merah bata, merah kecoklatan, hingga merah gelap. Perbedaan warna ini bergantung pada banyaknya kandungan uap air, polutan udara hasil pembakaran atau asap pabrik/kendaraan bermotor, debu, dan abu letusan gunung berapi. Bulan akan tampak semakin gelap seiring dengan makin banyaknya kandungan material tersebut.
"Pada pukul 22.11 WIB, bulan meninggalkan umbra bumi menuju bagian penumbra. Saat itu, bulan akan kembali terlihat sebagai purnama yang redup karena pengaruh bayangan penumbra bumi. Baru pada pukul 23.08 wib, bulan tidak lagi berada di dalam bayangan bumi dan gerhana bulan benar-benar berakhir. Bulan akan kembali tampak sebagai purnama yang terang," katanya.
Premana mengungkapkan jika istilah blood moon berasal dari penampakan bulan yang kemerahan saat puncak gerhana, tidak demikian halnya dengan istilah blue moon. Blue moon tidak mengacu pada penampakan gerhana berwarna biru. Bulan dapat berwarna kebiruan jika atmosfer bumi dipenuhi debu/abu berukuran lebih dari 0,7 mikrometer yang dapat menghamburkan warna merah, seperti yang terjadi pasca letusan gunung Krakatau di tahun 1883 yang menyebabkan bulan menjadi kebiruan selama beberapa tahun. Namun belakangan ini, istilah blue moon lebih populer digunakan untuk menyebut bulan purnama kedua yang terjadi pada bulan yang sama.
Untuk diketahui, lamanya fase bulan dari satu purnama ke purnama berikutnya adalah 29,53 hari. Sedangkan lamanya bulan masehi bervariasi, mulai dari 28/29 hari di bulan Februari hingga 30 dan 31 hari di bulan lainnya. Sehingga dalam satu bulan, dapat terjadi dua kali purnama (kecuali di bulan Februari). Secara umum, sekitar 3% dari keseluruhan purnama terjadi saat blue moon.
Sedangkan istilah supermoon adalah penampakan bulan purnama yang sedikit lebih besar (hingga 14 persen) dan lebih terang (hingga 30 persen) ketimbang biasanya. Hal ini karena orbit bulan yang berupa elips sehingga jarak bumi-bulan tidak selalu sama. Jarak terjauh bulan dari bumi adalah 406.700 kilometer sedangkan jarak terdekatnya adalah 356.400 kilometer. Purnama yang terjadi saat bulan berada di titik terdekat disebut dengan supermoon, sedangkan purnama yang terjadi saat titik terjauhnya disebut dengan micromoon. Satu dari empat purnama merupakan supermoon, sehingga supermoon ini sebenarnya bukanlah kejadian langka.
Lebih lanjut Premana mengatakan, gerhana bulan total sendiri terjadi saat bulan tidak terkena cahaya matahari karena terhalang oleh bumi. Pada saat itu, matahari, bumi, dan bulan hampir berada dalam satu garis lurus. Gerhana bulan selalu terjadi pada saat bulan purnama.
"Namun tidak setiap purnama terjadi gerhana bulan, karena bidang orbit bulan membentuk sudut 5 derajat terhadap ekliptika (bidang orbit bumi mengelilingi matahari)," katanya.
Menurut dia, dalam satu tahun terjadi dua hingga tiga kali gerhana bulan. Tahun 2018 gerhana bulan terjadi pada tanggal 31 Januari dan 28 Juli. Keduanya merupakan gerhana bulan total yang merupakan kejadian cukup langka. Namun dari kedua gerhana tersebut, hanya gerhana bulan di tanggal 31 Januari 2018 saja yang dapat teramati seluruhnya dari Indonesia.
"Pada gerhana bulan tanggal 28 Juli 2018, sebagian wilayah Indonesia timur tidak dapat menyaksikan keseluruhan gerhana," ungkapnya.
Observatorium Bosscha sendiri akan melakukan kegiatan pengamatan dan penelitian untuk mengetahui kondisi atmosfer bumi secara kualitatif dan merekonstruksi spektrum atmosfer bumi sebagai model atmosfer planet layak huni di planet ekstrasolar (planet di luar tata surya). Kegiatan pengamatan dan penelitian ini tidak terbuka untuk masyarakat umum. Observatorium Bosscha menghimbau masyarakat untuk menikmati momen gerhana ini dari tempat tinggal masing-masing atau bergabung dengan komunitas astronomi lain yang menyelenggarakan kegiatan pengamatan gerhana bersama.
Jika masyarakat yang ingin mengetahui terkait fenomena gerhana bulan langka ini, Planet Sabuga menggelar kegiatan observasi gerhana bulan total di Gedung Sabuga. Dalam kegiatan ini akan didakan presentasi mengenai gerhana bulan oleh Dr. Moedji Raharto pakar astronomi ITB yang merupakan Kepala Bosscha tahun 1999-2004. Kemudian akan dilaksanakan shalat gerhana yang akan dipimpin imam muda Masjid Salman ITB Dr Irfan Hakim (dosen astronomi ITB). Selain itu akan ada demo sains 'Sains Specta' dari Planet Sains dan dilanjutkan pemutara film edukasi tentang gerhana. Acara akan digelar pada pukul 16.00 WIB - 22.00 WIB.