Selembar surat kuno harganya bisa ratusan juta

user
Farah Fuadona 07 Maret 2016, 09:18 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Surat atau arsip kini menjadi barang antik yang menarik untuk dikoleksi. Sebagaimana benda antik umumnya, harga surat-surat kuno tidak rasional. Ada surat yang dibanderol puluhan ribu hingga ratusan juta.
 
Murwidi salah satu kolektor arsip di Bandung mengungkapkan, harga surat-surat kuno di Indonesia memang belum mencapai ratusan juta. Berbeda dengan di luar negeri yang pengarsipannya lebih rapi serta peminatnya tinggi. Hal itu berdampak pada harga yang juga tinggi.
 
“Di luar negeri harga surat tak nalar, bisa puluhan sampai ratusan juta. Kalau di kita belum sampai segitu. Surat punya saya saja paling mahal dua juta,” kata Murwidi yang mulai mengoleksi benda-benda pos sejak SMP tahun 1977, kepada Merdeka Bandung, Minggu (6/3).

Koleksi surat tua
© 2016 merdeka.com/Iman Herdiana



 
Menurutnya, harga tersebut untuk sampul surat berikut perangkonnya. Belum lagi jika surat tersebut masih utuh, lengkap dengan isinya yang harganya bisa lebih mahal lagi.
 
Di Indonesia, kata pria yang tinggal di Dago (Ir H. Djuanda) ini, memang koleksi surat-menyurat masih jarang. Sehingga masih jarang jual beli surat untuk koleksi. Berbeda dengan di luar negeri yang memiliki acara lelang arsip atau surat.
 
“Peminat surat-surat tua sangat dipengaruhi pasar. Jika peminatnya banyak, harganya bisa tinggi. Kita tidak bisa mematok harga seperti jualan,” kata pria yang awalnya hobi filateli ini.

Koleksi surat tua
© 2016 merdeka.com/Iman Herdiana



 
Murwidi mulai mengoleksi surat-menyurat dari hobinya sebagai filatelis. Awalnya, ia khusus mencari prangko. Begitu mendapat surat tua, ia ambil prangkonya saja. Namun setelah dipikir-pikir, mengoleksi prangko berikut amplopnya ternyata menarik.
 
Sejak itu ia pun mulai berburu surat-surat. Ia mengoleksi surat tahun 1883 yang masih ditulis dengan bahasa campuran melayu, daerah, Belanda, bahkan ada bahasa Sansekertanya. Surat tersebut dicap kantor pos di bawah pengawasan Pemerintah Belanda.
 
“Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu sudah memakai bahasa lokal. Orang yang menulis surat kebanyakan kalangan ningrat atau keraton,” ujarnya.

Kredit

Bagikan