Lewat buku, Rizky menguak tabir sejarah Fremason di Bandung
Bandung.merdeka.com - Kota Bandung, Jawa Barat, menyimpan sejarah perkembangan Fremason yang cukup panjang. Sejarah gerakan yang kerap dituding penuh rahasia dan konspirasi ini diulas dalam buku Okultisme di Bandoeng Doeloe karya M Rizky Wiryawan.
Belum banyak buku sejarah menuliskan sejarah okultisme Bandung, apalagi tentang Freemasonry. Lewat buku Okultisme di Bandoeng Doeloe: Menelusuri Jejak Gerakan Freemasonry di Bandung itu diharapkan semakin memperkaya khasana sejarah tentang Bandung.
"Saya dari awal sudah tertarik Freemasonry, konspirasinya, tapi ke sininya saya lebih tertarik dengan sejarahnya," kata Rizky, di Bandung baru-baru ini.
Dalam kata pengantar buku itu Rizky menjelaskan okultisme diambil dari bahasa Latin, occultus yang artinya tersembunyi atau rahasia. Kelompok-kelompok okultisme di dunia sangat banyak, termasuk yang berhubungan dengan agama tertentu.
"Dua kelompok okultisme terkenal yang pernah masuk ke Kota Bandung pada zaman kolonial adalah Freemasonry dan Teosofi. Kedua kelompok tersebut telah meninggalkan jejaknya di negeri ini seiring dengan kedatangan Belanda di Nusantara," tulisnya.
Perlu satu tahun bagi Rizky untuk melakukan riset dan menuliskan buku setebal 116 halaman itu. Dari hasil riset, ia menyimpulkan selama ini Freemasonry sering dicampuradukkan dengan propaganda konspirasi global, legenda Ksatria Templar, iluminasi dan lainnya.
"Freemasonry sering campur antara legenda dan sejarahnya. Misalnya legenda Ksatria Templar, padahal itu tidak ada dokumennya," katanya.
Ryzki menegaskan, dirinya bukan penganut Freemasonry, namun sebagai pecinta sejarah khususnya sejarah Bandung. Salah seorang pendiri Komunitas Aleut, komunitas wisata sejarah Bandung, itu mengatakan gerakan Freemasonry tidak lepas dengan sejarah Bandung.
Malah tahun 1930-an, kata dia, warga Bandung sudah terbiasa berinteraksi dengan anggota Freemasonry, memakai fasilitas mereka seperti perpustakaan dan sekolah yang banyak didirikan di Bandung.
Di balik penulisan buku yang diterbitkan Penerbit Khazanah Bahari, November 2014, itu dia harus melakukan riset hingga ke tukang loak atau pedagang buku bekas di Bandung. Tujuannya tidak lain untuk melacak dokumen-dokumen Freemasonry yang tercecer.
"Beberapa dokumen pernah dikeluarkan dari beberapa anggota yang meninggal dunia, ada dokumen di loakan dan beberapa dari internet," katanya, menjelaskan sumber-sumber sejarah yang dipakai untuk penulisan bukunya.
Pria kelahiran Bandung 1985 ini menambahkan, pengumpulan bahan dilakukan sejak awal 2013. Ia juga mendapatkan bahan awal dari buku-buku koleksi neneknya yang menganut Teosofi.
Banyak bahan riset memakai bahasa Belanda. Metode penulisan buku ini murni menggunakan kepustakaan. Ia mengakui, kelemahan bukunya tidak melakukan wawancara baik pada pengamat maupun anggota Freemasonry.
Menurut dia, anggota Freemasonry di Bandung mencapai 200 orang. "Bandung termasuk banyak juga anggotanya," kata lulusan S1 Administrasi Negara Unpad dan S2-nya di Studi Pembangunan ITB ini.
Bagaimana masyarakat harus memandang Freemasonry ini? Ryzki yang mengajar desain grafis ini mengatakan, Freemasonry sering kali dipandang tidak berdasarkan pada fakta sejarah. Lalu bagaimana aktivitas Freemasonry di Bandung saat ini, ia menjawab diplomatis. "Yang terlihat tidak ada," ujarnya seraya tersenyum.