Sekolah dasar sekarang cenderung menyeragamkan anak didik

Oleh Muhammad Hasits pada 30 April 2016, 11:29 WIB

Bandung.merdeka.com - Pendidikan inklusif bukan sekadar sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus (difabel). Pendidikan inklusif adalah sekolah ramah pada setiap anak. Sebab pada dasarnya setiap anak memiliki kebutuhan khusus.

“Jadi setiap sekolah seharusnya memperlakukan anak didiknya secara khusus, tidak menyeragamkan kemampuan anak,” kata Manajer Inclusive Community Development and School for All (IDEAL) dari Save the Children, Wiwied Trisnadi, dalam bincang-bincang di KaKa Coffee, Juice & News, Jalan Sultan Agung, Bandung, Jumat (29/4) sore.

Bincang-bincang tentang pendidikan inklusif yang menyambut hari pendidikan nasional 2 Mei nanti itu, selain menghadirkan narasumber dari Save the Children juga mengajak guru-guru Sekolah Dasar di Bandung, siswi difabel, dan orangtua.

Menurut Wiwid, sekolah-sekolah dasar di Indonesia saat ini cenderung menyeragamkan anak didiknya. Padahal setiap anak memiliki kemampuan dan potensi berbeda-beda.

Anak dikondisikan dengan kurikulum atau mata pelajaran yang jumlahnya seabrek. Wiwid bercerita, para pendahulu negeri ini banyak yang berjuang memajukan bangsa di bidang pendidikan. Sebut saja Ki Hadjar Dewantoro yang mendirikan Taman Siswa.

Lewat sekolah ini, Ki Hadjar mengajari anak dengan cara menyenangkan dan inklusif. Semua anak mendapat perlakuan istimewa lewat Taman Siswa.

Contoh lain, kata Wiwid, di pesantren-pesantren sudah mulai menerapkan model pendidikan inklusif. Kyai atau guru pesantren melihat kemampuan anak sebelum dimulai proses belajar mengajar mengaji.

"Di pesantren salafiyah anak calon santri sebelum mulai belajar dilihat dulu bagaimana potensinya, misalnya kajian hadis, kajian bahasa, kitab dan lainnya, jadi anak dilihat potensinya," katanya.

Namun yang terjadi saat ini justru terjadi penyeragaman di sekolah dasar. Anak dilihat dari perapektif orang dewasa, sehingga pelajaran yang diberikan bukan berdasarkan potensi anak. Anak-anak dijejali dengan bermacam pelajaran standarnya sama dan belum tentu sesuai dengan kemampuan anak.

"Kalau standarnya sama, anak akan sulit berkembang," katanya.

Wiwid berharap, ada upaya yang mengembalikan ruh pendidikan masa lalu ke dalam sistem pendidikan saat ini. Ruh Taman Siswa yang inklusif harus diterapkan pada sistem pendidikan dasar saat ini.

Saat ini pendidikan inklusif cenderung dipahami sebagai sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus (difabel). Padahal pada dasarnya semua sekolah harus inklusif, yakni menerima semua anak yang memiliki kekurangan dan kelebihannya.

Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang ramah anak, apapun kondisi anak tersebut, baik difabel (berkebutuhan khusus) maupun non-difabel.

"Jadi semua anak pada dasarnya berkebutuhan khusus, jangan paksa anak mengikuti orang-orang dewasa," katanya.