Melongok kampung tukang cukur di Garut

user
Mohammad Taufik 10 Desember 2015, 11:43 WIB
untitled

Bandung.merdeka.com - Kampung Parung terletak di Desa Bagendit, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kaum pria warga kampung ini mayoritas penduduknya bekerja sebagai tukang cukur. Mereka menyebar terutama ke Bandung dan Jakarta. Sebagian lagi membuka kios cukur di seantero Garut.

Tokoh Kampung Parung, Dede Saefudin, mengatakan terakhir jumlah tukang cukur di Desa Bagendit lebih dari 3.000 orang, sebagian besar berasal dari Kampung Parung.

Mantan Kepala Desa Bagendit ini mengatakan, tradisi mencukur rambut Kampung Parung sudah berlangsung sejak lama. Bahkan konon usianya setara dengan republik ini.

Dede sendiri pernah praktik nyukur dari 1977 sampai 2003. Ia membuka kios cukur di Rawamangun dan Rawasari, Jakarta. Kini kios tersebut diteruskan oleh anak dan adiknya.

Ia menyatakan, jasa tukang cukur yang merantau ke kota-kota besar tidaklah kecil. Mereka selalu mentransfer uang untuk keluarga atau istri mereka. "Seminggu sekali BRI di sini selalu penuh oleh warga yang memeriksa transferan," katanya kepada Merdeka Bandung.

Ia memprediksi, dari sekitar 3.000 orang tukang cukur asal Desa Bagendit, ada sekitar 2.000 orang di antaranya bekerja di Bandung dan Jakarta. Jika dalam seminggu atau sebulan sekali mereka mentransfer uangnya antara Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta, maka total uang yang mereka transfer sekitar Rp 2 miliar.

Uang yang mereka transfer ibarat darah segar bagi desa yang terkenal karena danau legendaris Situ Bagendit itu. Sebagian warga Bagendit bermatapencaharian di ladang dan sawah. Padi dan jagung menjadi komoditas utama mereka.

Dede menyebutkan, keberlangsungan pertanian warga tidak lepas dukungan modal para pria yang menjadi tukang cukur di kota. "Tanpa transfer dari mereka, pertanian di sini sangat sulit di tengah mahalnya benih dan pupuk. Sedangkan hasil panen kan harganya tidak pasti," katanya.

Dengan kata lain, uang transferan para tukang cukur di kota dipakai oleh warga desa untuk mengolah ladang dan sawah, membeli pupuk dan benih."Tanpa tukang cukur mungkin petani di sini sudah lama berhenti," katanya.

Ia menuturkan, suatu waktu para tukang cukur merasa prihatin dengan jalan desa yang rusak. Padahal jalan merupakan akses utama menuju sawah. Maka ribuan tukang cukur iuran untuk pembangunan infrastruktur desa. "Mereka patungan membangun jalan, sekolah dan masjid," kata Dede yang kini hidup bertani.

Tradisi jadi tukang cukur sudah ada sejak zaman DI/TII

Tradisi mencukur di Kampung Parung, Desa Bagendit, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, sudah berlangsung lama. Menurut keterangan warga, para pencukur Kampung Parung mulai menjelajah daerah luar Garut sejak zaman DI/TII.

Sejarah tukang cukur di sini tidak ada catatan resminya, yang ada cerita dari mulut ke mulut. Menurut cerita, generasi pertama tukang cukur di sini dimula sebelum 1945, kata Dede Saefudin, tokoh Kampung Parung yang juga Mantan Kepala Desa Bagendit.

Ia merunut, generasi tukang cukur pertama yang berangkat ke Jakarta adalah Indi dan Emen, keduanya buruh pabrik konveksi yang membuka usaha sampingan sebagai tukang cukur.

Langkah dua tokoh tukang cukur tersebut diikuti generasi berikutnya. Tradisi pangkas rambut di Kampung Parung makin meningkat dan melebar ke kampung tetangga yang ada di sekitar Desa Bagendit. "Mencukur di Garut sudah ada jauh sebelum DI/TII," kata Dede.

Menurutnya, ekspansi tukang cukur Garut ke daerah luar Garut makin meningkat sejak Skarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) di Malangbong, Garut, pada 7 Agustus 1949.

"Pada masa DI/TII, banyak warga Garut yang ketakutan dan memilih mengungsi terutama ke Bandung. Untuk mendapat penghasilan, banyak yang menjadi tukang cukur," katanya.

Faktor lain membuat tukang cukur Garut berekspansi adalah cerita sukses para tukang cukur merantau ke kota. Para tukang cukur yang lebih dulu berada di kota banyak merekrut anak muda desa. "Banyak remaja yang putus sekolah menjadi tukang cukur. Ada juga yang cuman lulus SD dan SMP lalu memilih jadi tukang cukur di kota," tuturnya.

Dede merasa prihatin juga dengan banyaknya tingkat putus sekolah karena tergiur menjadi tukang cukur. Sementara jasa tukang cukur semakin menjamur, tidak hanya di Desa Bagendit, tapi sudah menyebar ke seluruh Kecamatan Banyuresmi, dan kecamatan lainnya yang ada di Garut hingga Tasikmalaya. "Hampir semua tukang cukur di Bandung maupun Jakarta berasal dari Garut," ujarnya.

Padahal, syarat menjadi tukang cukur di Desa Bagendit tidaklah sederhana. Seorang tukang cukur pemula harus mampu melewati tradisi ngampung jika ingin naik tingkat menjadi tukang cukur mahir. Ngampung adalah istilah pendidikan non formal harus dijalani calon profesional.

Tukang cukur pemula yang ngampung bertugas keliling kampung untuk menawarkan jasa cukur. Selama ngampung, ia dibekali peralatan cukur tradisional seperti gunting, gunting keuyeup, sisir, bangku kecil, sehelai kain dan jepitan rambut.

Ngampung itu semacam pendidikan awal bagi pencukur pemula juga sebagai apakah hasil cukur dia diterima konsumen atau tidak, terang Dede.

Menurutnya, lama ngampung bisa 2 sampai 3 tahun. Tapi sejak munculnya mesin pemotong rambut, tradisi ngampung hanya dijalani sebentar saja. Banyak tukang cukur yang hanya menjalani ngampung beberapa bulan sudah ditarik ke kota.

"Dulu kami cuman bermodal sisir dan gunting, mengukurnya pakai perasaan. Sekarang ada mesin, ada alat ukurnya, jadi belajar lebih gampang," katanya.

Sejarah tersebut menjelaskan kenapa banyak tukang cukur baik kelas barbershop maupun kelas di bawah pohon rindang alias DPR yang berasal dari Garut.

Kredit

Bagikan